Pak Munajat dan Ibu Sita adalah dua orang pengajar yang menerapkan computational thinking untuk mencerdaskan anak bangsa. Cari tahu lebih lanjut tentang metode pengajaran ini dan misi Bebras Indonesia dalam mendidik dengan memberikan pengalaman teknologi yang lebih baik juga beberapa cerita menarik lainnya di acara Grow with Google pada 24 Mei 2022.
Munajat adalah seorang Dosen di IAIN Salatiga dan Pengajar di Pesantren Panti Asuhan Darul Hadlanah dan Salafiyah Salatiga, Jawa Tengah. Pada 2019, ia pertama kali mengenal dan mengajarkan Computational Thinking (CT) kepada santri atau muridnya di Pesantren Darul Hadlanah dari kelas 1 SD sampai dengan 12 SMA. Selain itu, Munajat juga mengajar delapan anak jalanan yang belum pernah mengenyam pendidikan formal sebelumnya dari rentan usia 8-14 tahun.
Google.org pada bulan Februari 2020 mengumumkan bantuan sebesar 1 juta USD kepada lembaga nonprofit pendidikan Bebras Indonesia untuk membantu pelaksanaan pelatihan keahlian Computational Thinking bagi 22.200 guru di 22 kota kecil dan besar melalui program Gerakan PANDAI (Pengajar untuk Era Digital Indonesia). Program ini membantu siswa berpikir kritis ketika menghadapi masalah yang kompleks.
“Kami di Biro Bebras Salatiga sudah mempunyai 20 lebih dosen yang sudah ditraining NBO Bebras Indonesia. Bersama Gerakan PANDAI, ada lebih dari 1,500 guru mengikuti pelatihan dan lebih dari 800 guru sudah mengajarkan computational thinking ke murid-muridnya. Saat ini, kami juga sedang mencoba bekerjasama dengan kelompok-kelompok Pendidikan Non Formal dan Komunitas Belajar Masyarakat untuk terus mengembangkan computational thinking agar semakin luas lagi jangkauan ajaran kami” ungkap pria berusia 47 tahun ini.
Kegiatan Munajat mengajarkan computational thinking ke muridnya
Mengajar murid yang belum pernah sekolah formal sebelumnya tentu menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Munajat, para murid ini tampak lebih mudah lelah dan hilang fokus di banding murid pada umumnya. Ia pun menerapkan kegiatan computational thinking dari tingkat Bebras Siaga dengan memberikan 1-2 pertanyaan dengan metode gambar dan kegiatan sebagai pemanasan sebelum dan setelah kelas sebenarnya. Hasilnya, para murid ini menjadi lebih semangat dan fokus belajar.
“Inilah mengapa saya melihat CT yang digunakan dalam Bebras dan Gerakan PANDAI sangat membantu, tidak hanya untuk mendongkrak murid "umum", tetapi juga dapat digunakan sebagai "jalur" terapeutik bagi murid yang kurang beruntung karena belum pernah mengenyam pendidikan formal sebelumnya. Kami getol menyebarkan CT karena CT dapat memberikan bekal kemampuan kecakapan hidup bagi anak-anak di masa depan agar lebih baik, yaitu kemampuan menyelesaikan permasalahan hidup secara efektif, efisien dan cepat. Sebagai pendidik saya yakin, CT bisa menjadi bagian dari solusi menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia, khususnya lemahnya kemampuan Literasi dan Numerasi.” tutup Munajat.
Florentina Sita Puspitasari atau akrab di sapa Sita adalah seorang pengajar di Olifant School, Yogyakarta. Pada 2021, Sita mengikuti pelatihan Gerakan PANDAI yang di pelopori Google di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sita pun telah mencoba menerapkan metode CT di kelas yang dia ajar, dan menemukan betapa metode ini membantu para murid untuk berpikir lebih kritis dan lebih tertarik untuk belajar.
Ketika mengikuti Gerakan PANDAI, Sita merasa tidak hanya muridnya yang menerima manfaat, tetapi ia sebagai pengajar pun turut merasa potensi dirinya meningkat. Keterampilan berpikir kritis dan kreatif membantu Sita untuk merancang pembelajaran yang menarik bagi muridnya, sehingga murid tetap semangat dan terlibat aktif dalam pembelajaran walaupun dilakukan secara online. Salah satunya, Sita berhasil merancang program kegiatan CT yang di integrasikan dengan program khusus sekolah tempatnya mengajar yang bernama Umbrella Activity.
Potret Sita saat menggunakan metode Computational Thinking.
“Saya menerapkan metode CT kepada murid yang saya ajak di kelas 3 SD, pada pelajaran tematik tentang proses metamorfosis hewan dan kaitannya dengan bagian-bagian tanaman. Pada kegiatan ini, murid dapat menyebutkan perbedaan dan persamaan daun yang sering mereka temui, kemudian menggambarkan bentuk daun dalam imajinasi mereka. Mereka pun dapat mengurutkan proses metamorfosis pada kupu-kupu melalui gambar yang menarik serta memberikan contoh hewan lain yang bermetamorfosis. Dengan menerapkan decomposition, pattern recognition, abstraction, dan algorithm membuat murid menjadi lebih kritis dalam merespon pembelajaran, serta meningkatkan partisipasi aktif murid.”
Kegiatan belajar-mengajar online di Olifant School, Yogyakarta.
Sita menyadari, celotehan-celotehan sederhana yang biasa dilakukan anak dapat diarahkan dengan CT hingga menjadi pengetahuan hidup yang lebih luas. Harapannya, dengan adanya bembelajaran berbasis CT ini para murid mulai terbiasa untuk berfikir kritis, menganalisis berbagai persoalan dari berbagai sudut pandang, dan pada akhirnya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi di dunia nyata secara mandiri.